Para ulama Salaf memahami standar kufu dalam menikahkan putri mereka adalah agama. Mereka tidak melihat harta dalam menikahkan putra-putrinya tetapi melihat kualitas iman, takwa dan akhlak. Tak heran jika mereka lebih memilih yang miskin namun baik agamanya dari pada yang kaya namun kurang agamanya.

Kisah Sa’id bin Musayyab dalam menikahkan putrinya adalah kisah keteladanan yang sangat indah penuh hikmah. Beliau memiliki putri yang sangat terkenal kecantikan, kecerdasan, dan kesalehannya. Kabar itu sampai ke telinga Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan putra mahkotanya yaitu Walid bin Abdul Malik di Damaskus. Khalifah datang ke tempat Sa’id bin Musayyab untuk meminang putinya itu untuk putra mahkotanya. Namun tanpa keraguan sedikitpun Sa’id menolak pinangan itu, meskipun dia harus menghadapi resiko yang tidak ringan. Karena menolak pinangan khalifah dia sampai dicambuk sebanyak seratus kali. Dan dia tetap pada pendiriannya tidak mau menikahkan putrinya dengan putra mahkota khalifah.

Tak lama setelah kejadian itu, dia kembali mengajar di masjid Nabawi. Ia adalah seorang ulama dan mahaguru yang sangat perhatian dan menyayangi murid-muridnya. Banyak para pemuda dari berbagai daerah yang hadir pada halaqah Sa’id bin Musayyab. Ia selalu menanyakan keadaan mereka, dan jika ada yag berhalangan hadir ia selalu menanyakan, kenapa. Namun suatu hari, Abu Wada’ah, salah seorang murid halaqah, tak hadir dalam majlis. Sejak hari pertama, ketidakhadiran Abu Wada’ah selalu dipertanyakan oleh Sa’id bin Musayyab. Beliau bertanya kepada beberapa orang muridnya yang hadir prihal Abu Wada’ah, namun tak satupun yang tahu tentang beritanya secara pasti. Mereka hanya menduga barangkali Abu Wada’ah menderita sakit atau ada halangan lain hingga tak dapat hadir di majlis. Ketidakhadiran Abu Wada’ah, bahkan berlanjut hingga beberapa hari setelah itu.

Selang beberapa hari, barulah Abu Wada’ah tampak kembali di antara murid-murid halaqah Sa’id bin Musayyab. “Ke mana saja engkau wahai Abu Wada’ah?” sapa Sa’id bin Musayyab. Air muka Abu Wada’ah mendadak menggambarkan kesedihan, ia lalu menerangkan perihal istrinya yang meninggal beberapa hari lalu, sehingga ia sibuk mengurus masalah-masalah istrinya beberapa hari dan tak sempat hadir ke halaqah. “Mengapa tak kau beritakan hal itu kepada kami wahai Abu Wada’ah? Sehingga kami bisa menyaksikan jenazah istrimu dan membantu kesulitanmu,” tanya Sa’id bin Musayyab.

“Jazakumulullah khairan…” ucap Abu Wada’ah sambil hendak beranjak pergi, namun syaikh menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang, syaikh berkata dengan sedikit berbisik: “Tidakkah engkau berfikir untuk menikah kembali, wahai Abu Wada’ah.” Abu Wada’ah cukup tersentak mendengar pertanyaan yang diajukan gurunya, ia segera menjawab: “Yarhamukallahu wahai guruku. Siapakah yang ingin menikahkan aku dengan putrinya? Saya hanya seorang yatim yang miskin,” ucap Abu Wada’ah polos. “Bahkan saya tak memiliki harta kecuali uang senilai dua atau tiga dirham saja…” lanjutnya.

Beberapa saat keduanya terdiam, Syaikh sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan Abu Wada’ah. Tak lama kemudian, syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah: “Saya yang akan menikahkan putriku denganmu, wahai Abu Wada’ah,” bisik syaikh pelan.

“Syaikh… ” lidah Abu Wada’ah seolah kelu mengungkapkan ketakjuban dan ketidakmengertiannya. “Anda akan menikahkan putri anda dengan saya, setelah mengetahui kondisi yang saya alami…?” kata Abu Wada’ah.

Sa’id bin Musayyab dengan tenang berkata: “Ya…, bila datang kepada kami seorang pemuda yang baik agama dan akhlaqnya, kami akan nikahkan dia dengan putriku. Dan engkau, bagi kami telah memenuhi kriteria itu…”
Tak berapa lama kemudian, Sa’id bin Musayyab memanggil beberapa orang muridnya yang Kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Sa’id bin Musayyab mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah SAW… lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang seharga dua dirham.

Dan jadilah saat itu juga Imam Sa’id bin Musayyab menikahkan putrinya yang terkenal cantiknya itu dengan Abdullah bin Wada’ah, salah seorang muridnya yang miskin, dengan mahar hanya dua dirham.

Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya saya tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” ungkap Abu Wada’ah. Dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, hatinya selalu dipenuhi tanda tanya. Apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Kepada siapa saya akan meminjam uang? Dari mana saya akan memperoleh harta…? Dan sebagainya.

Dari pertanyaan-pertanyaan sejenis terlintas terus menerus dalam hati Abu Wada’ah hingga tiba saatnya waktu shalat maghrib dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk berbuka dengan sepotong roti dan minyak.
Akan tetapi, baru ia telan satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. “Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah. Suara yang terdengar kemudian segera dikenalnya, ia adalah Sa’id bin Musayyib. Datang bersama putrinya yang telah sah menjadi isteri Abu Wada’ah. Mulanya, Abu Wada’ah mengira, bahwa Sa’id bin Musayyab datang untuk memperbincangkan masalah lebih lanjut dari pernikahan antara dirinya dan putrinya.
Namun Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya puteriku kini telah menjadi isterimu, sejak senja hari tadi. Dan, aku paham bahwa tak ada seoangpun yang akan menemanimu di sini. Aku tak ingin bila engkau berpisah dengan isterimu. Sekarang, saya datang bersamanya…

Dan putri Sa’id bin Musayyab itu ternyata berdiri di belakang Said bin Musayyab. Sejenak kemudian, ia panggil putrinya dan berkata: “Dengan nama dan barakah Allah, masuklah ke rumah suamimu wahai puteriku…” ucap Sa’id bin Musayyib. Sa’id lalu memegang tangannya dan mendorongnya ke pintu. Putri Sa’id bin Musayyab terlihat sangat malu. Ia hanya berdiri mematung di pintu.
lalu cepat-cepat Abu Wada’ah menuju nampan, di mana ada roti dan minyak. Meletakkan pada bayangan lentera agar tidak terlihat. Lalu naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka pun berdatangan. Mereka bertanya,

‘Ada apa?”

“Aduh bagaimana ini? Siang tadi Sa’id bin Musayyab menikahkan aku dengan putrinya. Dan malam ini mendadak dia datang membawa putrinya itu.”

Para tetangga bertanya heran, “Said menikahkan kamu?”

“Ya”

“Dia sekarang di rumahmu?”

Para tetangga lalu mendatangi rumah Abu Wada’ah. Hal itu di beritahukan kepada ibunya. Ibunya pun datang dan berkata, “Aku haram melihat wajahmu jika kau sampai menyentuhnya sebelum aku dandani sampai tiga hari.” Abu Wada’ah lalu menenangkan diri selama tiga hari, barulah menemui istrinya. Beberapa hari selanjutnya, kehidupan Abu Wada’ah penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah seorang wanita yang paling cantik di kotanya. Yang paling hafal al Qur’an dan paling menguasai tentang hadits-hadits Rasulullah. Selain wanita yang paling memahami hak-hak suaminya.
Selama sebulan Sa’id tidak mendatangi Abu Wada’ah dan ia pun tidak mendatangi Said bin Musayyab. Setelah sebulan Abu Wada’ah mendatanginya saat itu dia ada di tengah-tengah halaqah pengajiannya. Abu Wada’ah ucapkan salam padanya. Said bin Musayyab menjawab salam. Ia tidak mengajak Abu Wada’ah bicara sampai orang-orang pergi semua.

Ia bertanya, “Bagaimana kabar isterimu wahai Abu Wada’ah?”

“Alhamdulillah, keadaannya sebagaimana yang disukai dengan orang yang benar dan tidak disukai oleh musuh..?” ucap Abu Wada’ah puitis.

“Alhamdulillah, kalau demikian,” jawab Sa’id bin Musayyab.

Setelah kembali ke rumahnya, Abu Wada’ah terkejut karena teryata Sa’id bin Musayyab telah mengirimkan sejumlah uang untuk awal kebutuhan rumah tangganya.

Betapa besarnya rasa percaya Imam Tabi’in agung itu. Ia bahkan tidak bertanya secara mendetil keadaan putrinya. Sebab ia sangat percaya putrinya akan baik dan aman di bawah lindungan lelaki yang bertaqwa, takut kepada Allah, tahu hak dan kedudukannya.

Setelah melalui beberapa malam bersama istrinya, Abu Wada’ah mengatakan kepada istrinya bahwa dia akan pergi untuk menghadiri salah satu taklim ayahnya (Sa’id) karena dia tidak ingin absen satupun dari perputaran ilmu yang diberikan ayah dari istrinya itu. Istrinya berkata kepadanya, “Duduklah di sini dan aku akan mengajarimu pengetahuan dari ayahku.” Kemudian dia duduk bersamanya dan mengajarkannya beberapa ilmu yang telah disampaikan oleh ayahnya. Bukan hanya mendapatkan istri yang baik bagi Abu Wada’ah, akan tetapi dia juga mendapatkan guru yang besar. Jika dia absen dari taklim ilmu yang diberikan Sa’id dia dapat belajar dari istrinya.

Begitulah Tabi’in besar ini yaitu Sa’id bin Musayyab, lebih memilih lelaki yang miskin namun ia tahu persis ketaqwaan dan kedalaman ilmu agamanya. Ia tidak memilih putra raja yang kaya raya dan memiliki kedudukan yang tinggi. Ia sangat percaya bahwa putrinya akan selamat di dunia dan akhirat jika berada dalam bimbingan suami yang bertaqwa. Betapa mantapnya hati Said bin Musayyab tatkala menikahkan putrinya itu dapat dilihat dari cerita Abdullah bin Wada’ah.

Firman Allah :

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)

Sabda Rasulullah SAW :

“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya” (HR. Thabrani)

Sumber: http://samiybahaj.wordpress.com